Bermula dari membaca
berita meninggalnya Syeh Rih Krueng Raya, maka tergeraklah semangat saya untuk
mencetak hikayat-hikayat yang telah saya alihkan dari huruf Arab Jawoe ke
aksara Latin. Berita itu dimuat dalam Harian Serambi Indonesia, 16 April 1997
halaman 3.
Syeh Rih Krueng Raya
adalah penyair Hikayat Aceh terkenal,dan saya salah seorang pengagum beliau.
Kegiatan menyalin hikayat Aceh ke huruf Latin memang sudah sejak tahun 1992
saya lakoni. Hal ini terkait Harian Serambi Indonesia yang saat itu sedang
memuat Hikayat Aceh setiap hari secara bersambung. Pemuatan hikayat oleh koran
itu berlangsung pada awal 1992 sampai akhir tahun 1994. Dari 12 judul hikayat
yang sempat dimuat koran itu, tujuh (7) judul diantaranya adalah hasil alih
aksara saya. Ketujuh hikayat Aceh itu ialah: (1) Hikayat Meudeuhak; (2) Hikayat
Nasruwan Ade, (3) Hikayat Abunawah, (4) Hikayat Banta Keumari(5) Hikayat Aulia
Tujoh, (6) Hikayat Tajussalatin, dan (7) Hikayat Zulkarnaini.
Bila dihitung jumlah
hari pemuatannya, berarti hampir seribu hari/tiga tahun lebih Harian Serambi
Indonesia telah memuat hasil kegiatan alih aksara hikayat yang saya kerjakan.
Walaupun ditahun 1995 hikayat tidak dimuat lagi dalam koran, namun karena sudah
mencintai/ketagihan; saya terus melanjutkan kerja alih aksara hikayat dari satu
judul ke judul lainnya.
Judul-judul dan
ringkasan isi dari Hikayat-Nadham-Tambeh dan naskah Jawoe yang telah saya salin
dari Arab Melayu/Jawoe ke huruf Latin dari tahun 1992 sampai 2009 sebagai
berikut : (1) Hikayat Meudeuhak : Keberhasilan seseorang pemimpin/Raja turut
ditentukan oleh para penasihatnya namun sang pemimpin perlu selalu menguji
kesetiaan mereka (434 halaman) ,(2) Hikayat Banta Keumari: Sikap saling
membantu dalam perjuangan hidup akan menghasilkan kebahagiaan bersama (650
halaman), (3) Hikayat Tajussalatin: Tajussalatin = mahkota raja-raja.
Membicarakan sejumlah pedoman bagi para pemimpin. Ditulis pertama dalam bentuk
prosa, bahasa Melayu oleh Bukhari Al Juhari tahun 1603 M. Tahun 1937 atas
anjuran Uleebalang Keumangan,Pidie disusun ke bentuk Hikayat Aceh (420
halaman), (4) Hikayat Aulia Tujoh: Mengisahkan tentang tujuh orang pemuda yang
melawan seorang penguasa yang zalim. Begitu angkuhnya raja ini sampai-sampai
mengakui dirinya sebagai Tuhan (54 halaman), (5) Hikayat Kisason Hiyawan:
Kisason Hiyawan merupakan kisah sejumlah hewan/binatang. Kehidupan ini penuh
dengan teka-teki, tipu muslihat dan saling bersaing. Oleh karena itu perlu
hati-hati dan waspada dalam setiap tindakan. Di beberapa tempat di Aceh, naskah
ini diberi nama Hikayat Nasruwan Ade Hikayat ini berjiwa lingkungan hidup (176
halaman),
(6) Hikayat Gomtala Syah: Kisah
monyet raksasa yang berasal dari manusia. Intinya menceritakan kesetiaan sang
monyet membela kepentingan pamannya. Hikayat ini bernuansa lingkungan hidup
(548 halaman), (7) Hikayat Keumala Indra: Keberhasilan menguasai berbagai
bidang ilmu pengetahuan, akan memperlancar kehidupan. Tokoh ceritanya berasal
dari Turki (594 halaman), (8)Hikayat Nabi Yusuf: Penderitaan yang disertai
kesabaran-ketabhan, akan mewujudkan kemenangan. Sementara kedengkian dan iri
hati akan menerima rugi dan kekalahan. Naskahnya sudah cukup tua yang berasal
dari kecamatan Titeue, Pidie (281 halaman), (9) Hikayat Abu Nawah: Setiap
pemimpin /raja harus tahan menerima kritik. Kritikan itu perlu dikemas dalam
dua bentuk, yaitu bentuk halus dan tajam/keras (301 halaman), (10) Hikayat
Zulkarnaini: Kisah Iskandar Zulkainaini dan Nabi Khaidir/Hidhir ini menyebut
asal usul nama Aceh dengan sebutan Pulo Ruja( bekas kain serban Sultan Iskandar
Zulkarnani). Dan setiap kedengkian akan menerima balasan Tuhan (226 halaman),
(11) Hikayat Akhbarul
Karim: Menjelaskan mengenai Ilmu Fiqh, Tasawuf dan Ilmu Tauhid. Hikayat ini
juga mengandung nasihat-nasehat agar umat Islam melaksanakan syari’at Islam
secara kaffah. Pengarang Hikayat Akhbarul Karim digelar Teungku Seumatang. Tapi
masih diperdebatkan apakah beliau asal Geudong-Aceh Utara atau dari Busu dan
Gampong Cot,Pidie(139 halaman), (12) Nadham Akhbarul Hakim: Berisi nasihat dan
kritikan tajam terhadap ummat Islam dalam segala umur, yaitu remaja, orang
dewasa,dan kakek-nenek. Kritik disebut secara lantang/pedas dan kadang-kadang
lucu. Terkesan, sebagian isi naskah ini dikutip dari bagian akhir Tambeh Tujoh
Blah. (81 halaman), (13) Tambeh Tujoh: Tambeh (Arab adalah tanbihi, artinya
peringatann/tuntunan). Berisi tujuh masalah/ 7 bab. Dua bab di antaranya
termasuk masalah yang amat langka dibahas dalam syair/hikayat Aceh, yaitu
masalah kerangka tubuh manusia dan Ilmu Ketabiban/kedokteran . Karya ini
ditulis tahun 1208 H oleh Syekh Abdussalam(155 halaman), (14) Tambeh 95: Berisi
95 masalah/bab, terdiri dari nasihat, pelajaran Ilmu Agama, Ilmu Tasawuf,
contoh-contoh yang bermanfaat; demi kedamaian di dunia dan kebahagiaan di
akhirat. Tambeh ini diterjemahkan dari bahasa Arab tahun 1248 H oleh Syekh
Jalaluddin alias Teungku Di Lam Gut (catatan: nama asli dari naskah ini ialah
Tambihul Ghafilin, yang baru saya ketahui baru-baru ini) (623 halaman), (15)
Nadham Ruba’I: Membahas banyak hal masalah ajaran Islam namun secara ringkas
(serba-serbi Agama Islam). Naskah ini tidak lengkap lagi (31 halaman),
(16) Nadham Nasihat:
Nasihat-nasihat mengenai pentingnya Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan (34
halaman), (17) Hikayat Nabi Meucuko: Kisah pencukuran rambut Nabi Muhammad SAW
yang dilakukan Malaikat Jibril (20 halaman), (18) Hikayat Qaulur Ridwan: Qaulur
Ridwan ialah perkataan yang disenangi/ridha Tuhan. Hikayat ini ditulis dalam
bentuk cerpen yang mengajak orang mau mengerjakan Shalat, kisahnya diramu
dengan muatan local. Hikayat ini ditulis Syekh Abdussalam tahun 1220 H (18
halaman), (19) Tambeh Tuhfatul Ikhwan: Menjelaskan 12 bab masalah agama dan
kemasyarakatan. Tuhfatul Ikhwan = persembahan kepada sahabat/saudara. Tambeh
ini diterjemahkan Syekh Abdussalam tahun 1224 H (294 halaman), (20) Tambeh
Tujoh Blah (Karya Syekh Abdussamad alias Teungku Di Cucum. Bahwa beliau
sebagai pengarang kitab ini, ‘secara kebetulan’ baru saya ketahui hari
Jum’at siang, 10 Ramadhan 1434 H/19 Juli 2013, ketika saya membaca satu bait
Tambeh 17 yang berbunyi:”Bahkeu dumnan adab guree, Le kadilee lon hareutoe/Lam
hikayat Akhbarul Na’im,Keudeh Polem kalon keudroe!”. Bait terakhir bab ke 7
Tambeh Tujoh Blah itu menyebutkan, bahwa pengarang Tambeh 17 sama dengan
penulis kitab Akhbarul Na’im. Sementara pengarang kitab Akhbarul Na’im
adalah Syekh Abdussamad atau Teungku Di Cucum. Saya menjadi sangat ingat
dengan Akhbarul Na’im serta penulisnya Teungku Di Cucum, karena pada malam
Makmeugang Puasa, 9 Juli 2013 yang lalu baru saja berlangsung
pembacaan “Nadham Teungku Dicucum” oleh Tgk. Ismail alias Cut ‘E di
Bale Tambeh halaman rumah saya. Nadham Tgk. Dicucum adalah nama lain atau nama
populer bagi kitab Akhbarul Na’im). : Berisi 17 bab, yang membahas
masalah hubungan dengan Allah, hubungan sesama Manusia dan dengan
binatang/Lingkungan hidup. Tambeh 17 termasuk salah satu kitab tambeh yang
sangat populer di Aceh (Pidie?) pada masa tempo dulu Tambeh ini ditulis tahun
1306 H (236 halaman),
(21) Hikayat Banta
Amat: Kisah seorang anak Raja yang yatim sejak kecil. Negeri dan semua kekayaan
di rampas Pamannya. Berkat ‘azimat’ yang diberikan Raja Ular ia berhasil
menjadi Raja kembali. Hikayat ini berjiwa lingkungan hidup (318 halaman), (22)
Nadham Mikrajus Shalat: Membahas seluk-beluk shalat serta yang berkaitan
dengannya dalam bentuk nadham Aceh. Nadham ini ditulis Teungku Sulaiman
Abdullah, Lala-Andeue, Pidie (41 halaman), (23) Cuplikan: Hikayat Indra
Bangsawan: Mengisahkan kehidupan dua orang Putra Raja yang berjuang menemukan
permintaan Ayah mereka. Ternyata yang paling menderita; dialah yang mencapai
kemenangan dan menjadi Raja menggantikan sang Ayah (79 halaman), (24) Kitab
Qawai’idul Islam: Dalam sebutan masyarakat tempo dulu naskah ini dinamakan
“Kitab Bakeumeunan” ; menjelaskan mengenai Ilmu Tauhid (Ilmu Kalam) secara
panjang lebar dan mendalam. Keistimewaan kitab ini ditulis dalam bahasa Aceh.
Selain Bahasa Aceh, bahasa pengantar naskah ini juga menggunakan bahasa Melayu
serta bahasa Arab. Pada umumnya bentuk penulisan bahasa Aceh adalah dalam jenis
syair/puisi secara bersanjak, tapi kitab ini bahasa Acehnya dalam bentuk prosa
(28 halaman), (25) Tambeh Gohna Nan: Naskah ini ditulis dalam bentuk
penyampaian “wasiat dari seorang Ayah kepada anaknya”. Inti wasiat sang Ayah
supaya si Anak mengamalkan kehidupan ‘suluk dan tarikat’ yang amat berkembang
di Aceh pada akhir zaman. Kitab ini ditulis kira-kira pada masa awal Perang
Aceh-Belanda.Tambeh ini ditulis Syekh Abdussamad alias Teungku Di Cucum, Aceh
Besar Naskah ini belum diberi nama oleh pengarang, karena itu saya berilah
judul sementara “Tambeh Gohna Nan” (175 halaman),
(26) Adat Aceh:
Berisi adat/tradisi dan protokoler Kerajaan Aceh sejak masa Sultan Iskandar
Muda. Sesungguhnya, inilah yang disebut dalam sepotong pribahasa Aceh: “Adat
bak Poteumereuhom Hukom Bak Syiahkuala” (162 halaman), (27) Tazkirah Thabaqat:
Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu berbentuk prosa. Isinya menjelaskan tentang
susunan tata pemerintahan Kesultanan Aceh sejak jabatan Geuchik sampai sultan
Aceh. Naskah ini ditulis tahun 947 H pada masa Sultan ’Alaiddin Mahmud ‘Abdul
Qahar ’Ali Riayat Syah dan terus-menerus direvisi oleh sultan-sultan Aceh
sesudahnya. Penyalin/revisi terakhir dilakukan Sayed Abdullah Jamalullail alias
Teungku Di Mulek atas anjuran Sultan Ibrahim Mansur Syah tahun 1270 H, yakni 20
tahun sebelum perang Belanda-Aceh tahun 1290 H (115 halaman), (28) Resep Obat
Orang Aceh: Cuplikan/saduran dari kitab obat Tajul Muluk karya Haji Ismail Aceh
yang ditulis atas perintah Sultan Aceh Ibrahim Mansur Syah. Judul “Resep Obat
Orang Aceh” hanyalah pemberian saya,karena berupa cuplikan (55 halaman), (29)
Hikayat Malem Dagang: Menceritakan pelayaran Sultan Iskandar Muda bersama
pasukannya menyerang Raja Si Ujut di Malaka. Raja si Ujut adalah lambang dari
bangsa Portugis yang telah menjajah Malaka sejak tahun 1511 M(163 halaman),
(30) Hikayat Nabi Yusuf : Isi ringkasnya tidak jauh berbeda dari Hikayat Nabi
Yusuf versi Pidie tersebut di atas, namun ditulis mengikut selera novel
moderen. Dalam hal percintaan Siti Zalikha misalnya, sengaja tak saya salin
beberapa kalimat karena ’lucahnya’. Naskah Arab Jawoe berasal dari kabupaten
Nagan Raya, selesai ditulis tahun 1980(230 halaman). Maka dari 30 judul naskah
yang telah disalin ke huruf Latin berjumlah 6680 halaman.
Kita kembali ke pokok
pembahasan!. Bahwa sebelum membaca berita berpulangnya Syeh Rih Krueng Raya,
yang meninggal Jum’at, 12 April 1997 dalam usia 62 tahun; niat mencetak hikayat
itu memang pernah muncul dalam pikiran saya, tetapi selalu padam kembali.
Pendorong utama untuk mencetak hikayat adalah Drs. Ameer Hamzah, yang ketika
itu sebagai Redaktur Budaya Harian Serambi Indonesia.
Namun semua ajakan
itu yang selalu disampaikan setiap ketemu; hanya tertanam di hati. Saat itu
saya berpikir logis, bahwa hikayat tidak mempunyai “pasaran” lagi di Aceh.
Jadi, kalau saya mengeluarkan dana untuk mencetak hikayat berarti saya telah
berperilaku “meuwot lam bruek ruhueng”(masak bubur dalam tempurung berlobang).
Alias melulu rugi!. Kalau pun disebut Toke hanyalah sebatas “Toke gambang alias
Tukang gambe”, yang bermakna pedagang miskin!.
Akibat dorongan Drs. Ameer Hamzah yang tak pernah “absen”, pernah juga saya
mendatangi beberapa percetakan di Banda Aceh. Drs. Ameer Hamzah berujar; kalau
saya tak menerbitkan hikayat-hikayat itu, dikala tua saya akan menyesal tidak
melakukannya!. Begitu pula dengan saran UU.Hamidy, seorang pakar Hikayat Aceh
asal Universitas Riau,Pekanbaru dalam surat beliau 26 September 1996, yang
mendorong mencetak karya-karya saya. “Sediakan dana barang sejuta, dan cetak
karya Anda yang kira-kira paling digemari masyarakat”, demikian pesan UU.Hamidy
yang pernah setahun penuh meneliti hikayat di Aceh tahun 1974. Saat menyurati
saya itu UU.Hamidy sendiri telah menerbitkan 35 judul buku tentang budaya
Melayu-Riau dan sekarang sudah 60 judul jumlahnya.
Di tahun 1995, yang mula-mula saya pilih adalah sebuah perrcetakan di kampus
Darusslam. Dalam pikiran saya, keren juga nanti bila hikayat saya
terpampang nama percetakan kampus!. Dan sekaligus ikut mempopulerkan nama
kampus Darussalam ke pelosok-pelosok kampung. Naskah yang hendak saya cetak
saat itu adalah Hikayat Akhbarul Karim Namun apa daya, ongkos cetaknya di luar kemampuan
kantong saya, dan mesti dibayar tunai sekaligus senilai Rp. 1200000(satu juta
dua ratus ribu rupiah). Akibat ketiadaan modal, terhambat pula angan-angan saya
hendak mencetak hikayat. Dan saat itu perhitungan untung-rugi masih menjadi
acuan utama saya dalam “berdagang” hikayat tersebut.
Namun, setelah
membaca berita duka itu sikap saya berubah total. Perhitungan untung-rugi dalam
‘bisnis’ hikayat serta-merta tenggelam dan memunculkan cita-cita melestarikan
Hikayat Aceh agar tidak ditelan zaman. Paling kurang tersambunglah kembali
rentangan tali penerbitan hikayat yang “sudah putus” setelah Syeh Rih Krueng
Raya berpulang ke alam baqa. Paling lama setahun-dualah, pikir saya waktu itu.
Tindakan spontanitas itu saya mulai dengan mengumpulkan hikayat-hikayat karya
Syeh Rih Krueng Raya yang masih dijual di toko-toko buku. Sebelumnya, saya
memang sudah memiliki dua judul, yaitu Kisah Nasib Aneuk Meuntui yang saya beli
di pasar Kotabakti,Pidie tahun 1971 sepulang sekolah dari SMP Beureunuen pada
hari Senin yang merupakan uroe gantoe . Satu lagi Hikayat Golongan Karya
terbitan 1977 yang saya peroleh di Yogyakarta tahun 1987. Dengan ditemani
Azhari, seorang mahasiswa FKIP Unsyiah -, famili yang tinggal bersama saya; –
sekarang Guru SMA Negeri Pekanbaro – Lampoh Saka, Pidie; berkelilinglah
saya ke semua toko buku di Banda Aceh. Hasilnya adalah beberapa judul hikayat
yang diterbitkan pada tahun-tahun yang berbeda, yaitu Fitnah Bak Matuan(1993),
Tapeugot Nanggroe(Aceh Rayek-1994), Beusapeue Pakat(1996), Laksamana Keumala
Hayati(1996) dan Ie Mata dalam Gurita(1996). Hanya itulah koleksi hikayat Syeh
Rih Krueng Raya yang saya miliki sampai hari in. Padahal karya beliau puluhan
judul jumlahnya; yang entah dimana sekarang berada(?).
Berbekal nasehat UU.Hamidy, saya pilihlah Hikayat Akhbarul Karim menjadi
hikayat cetakan pertama saya sebaga “Toke Hikayat”. Hikayat Akhbarul Karim
adalah karya ‘hikayat agama’yang masih populer dibaca orang sampai akhir tahun
60-an. Percetakan yang saya pilih yaitu KUD.Rahmat yang terletak di kawasan
Peniti, Banda Aceh yang dikelola Pak Adi. Ada tiga hal yang mendorong saya
memilih percetakan ini, yakni (1) Ongkos cetak murah, (2) Boleh bayar cicilan,
dan (3) Mau diantarkannya ke Toko Buku sebagai barang titipan saya. Masalah
murahnya ongkos cetak betul-betul menggembirakan saya. Betapa tidak,seperti
tersebut di atas di tahun 1995 saya telah mencoba cetak Hikayat Akhbarul Karim
di percetakan kampus Darussalam,te tapi batal karena ongkosnya di luar
kemampuan saya. Walau sudah berselang dua tahun(1997), namun ongkos cetaknya
hanya Rp.600.000,-(enam ratus ribu rupiah) dan boleh bayar
cicilan(bacut-bacut). Tetapi yang terjadi kemudian adalah penerbitan Hikayat
Akhbarul Karim dalam dua jilid itu didanai percetakan. Setiap jilid dicetak
1000 eksemplar buku saku. Sebagai uang jerih-payah alih aksara kepada saya
diberi “honor” Rp.25000,-(duapuluh lima ribu
rupiah). Uang itu segera saya pakai buat bayar iklan bagi hikayat itu pada
media “Gema Baiturrahman”.
Mungkin Anda heran;
kenapa saya yang membayar ongkos iklan, padahal buku-buku hikayat tersebut
sudah menjadi milik orang lain!. Jawaban logis memang tak ada, tapi begitulah
setrategi dagang ‘Toke hikayat’. Selain itu, saya pun sudah berkali-kali gagal
dalam berurusan dengan hasil alih aksara Hikayat Akhbarul Karim ini. Pertama,
gagal/batal dimuat pada sebuah koran lokal, yang semula dijanjikan sehingga
saya bekerja menyalin naskahnya ke huruf Latin. Kedua, gagal dicetak oleh
pimpinan koran lokal itu sebagai usaha pribadi. Ketiga, batal dicetak dengan
dana sebuah Toko Buku yang telah dijanjikan pimpinannya. Barulah pada kali
keempat saya menang atas bantuan percetakan itu!.
Alhamdulillah, niat menyambung usaha Syeh Rih Krueng Raya sudah terwujud!.
Masih tahun 1997, dengan selang dua-tiga bulan setiap judul ;saya pun mencetak
Hikayat Aulia Tujoh,Nadham Akhbarul Hakim dan Hikayat Meucuko Nabi Muhammad
Saw. Masing-masing judul dicetak 1000 buah buku saku dengan dana sendiri yang
dibayar secara cicilan. Sebelum Hikayat Aulia tujoh selesai dicetak, saya
berkelil;ing ke Toko-toko Buku menawarkan titipan hikayat. Sebagian menolak
dengan alasan takut tidak laku, tetapi ada pula yang menerima.Pemilik toko buku
yang menerima ini,ternyata sejak lama sudah menjual hikayat dan kadang-kadang
menjadi sponsor dana untuk mencetak hikayat, khususnya hikayat/nadham tipis
berisi kasidah-Like Aceh yang mudah terjual. Maka diantarlah oleh karyawan Pak
Adi/KUD.Rahmat buku-buku hikayat ke toko-toko buku tersebut.
Tidak lah semua buku
hikayat diantarkan ke toko buku. Biasanya antara 50 sampai 100 eksemplar saya
ambil sendiri. Hikayat-hikayat ini, nantinya saya “hadiahkan” kepada
teman-taulan saya. Beberapa sekolah, fakultas, dan pustaka di kampus Darussalam
dan Tungkop mulai TK sampai Pasca Sarjana sering saya hadiahkan hikayat-hikayat
itu.Karena yang saya gunakan strategi ‘bisnis modern‘, maka iklan pun saya
pasang lagi pada buletin “Gema Baiturrahman“ Mesjid Raya Banda Aceh dengan
dana Rp.25000(duapuluh lima ribu rupiah) untuk tiga kali
terbit. Hanya saja gemar “berhadiah-hadiah” itu; mungkin yang berlawanan dengan
sifat pedagang sebenarnya!.
Setelah setahun, saya pun mengumpulkan uang hasil penjualan buku-buku hikayat.
Ternyata hasilnya amat jauh dari harapan. Karena itu pada tahun 1998 hanya Hikayat
Abunawah jilid I yang dapat saya cetak. Jumlah cetakan pun saya kurangi dari
1000 ke 500 buku perjilid,begitu pula buat seterusnya. Hikayat-hikayat yang
saya cetak selanjutnya adalah: Hikayat Lingkongan Udep Wajeb Tajaga(karya
sendiri-1999), Abunawah II(2000). Pada tahun 2000 sebuah iklan saya pasang di
Radio Rapa-I Aceh-Lambaro untuk 3 kali siar. Tahun kedua buku hikayat lebih
banyak laku; karena itu pada tahun 2001 lebih banyak hikayat dapat saya cetak,
yakni: Hikayat Wajeb Tasayang Binatang Langka, Hikayat Binatang Ubit Kadit Lam
Donya(keduanya karya sendiri),Hikayat Kisason Hiyawan II,II,Hikayat Banta Amat
I,II, dan Hikayat Meudeuhak I,II. Saya buat berjilid agar mudah
pemasarannya,dan setiap jilid rata-rata 60 halaman. Buku ukuran saku ini berisi
enam bait setiap halaman.
Jumlah toko buku yang menampung titipan hikayat bertambah dua lagi tahun 2002
di Banda Aceh. Di tahun ini juga saya pasang iklan hikayat di koran Aceh
Ekspres. Pada tahun 2003 tambah satu toko buku di kampus Darussalam. Tapi akibat
tidak satu buku hikayat pun laku, maka setelah setahun saya ambil kembali, dan
habis saya bagi-bagikan kepada kenalan. Pertengahan tahun 2004,sebuah toko buku
mengembalikan semua titipan hikayat saya dengan alasan sukar dipasarkan.
Hikayat satu kardus besar itu saya hadiahkan kepada Lembaga Bahasa Banda Aceh;
dengan pesan agar dihadiahkan lagi kepada pihak lain. Akhirnya, semua hikayat
ini dibagi-bagikan kepada para peserta Seminar Budaya Pekan Kebudayaan Aceh(PKA
IV) tahun 2004 itu di ACC Dayan Dawod kampus Darussalam.
Musibah/Bala Ie Beuna/tsunami,26 Desember 2004 telah mendatangkan bencana
dahsyat bagi “bisnis hikayat” saya. Semangat melestarikan hikayat nyaris mati,
namun bisa bangkit kembali pada ujung tahun 2005. Tetapi saya lagi-lagi
mengalami hambatan. Hikayat-hikayat yang sudah saya salin dari huruf Arab Jawoe
ke huruf Latin hanyalah ketikan mesin Tik biasa, karena itu bila hendak dicetak
perlu disalin ulang dengan komputer.
Selama ini tugas
salin ke komputer dilakukan Pak Adi (asal Jawa Tengah) yang sejak beberapa
tahun lalu sudah memiliki usaha percetakan milik sendiri, yakni UD.Selamat
Sejahtera yang juga terletak di kawasan Peniti, Banda Aceh. Karena Pak Adi
sedang sakit, maka usaha saya pun terhambat. Sukar memang mencari usaha
komputer milik orang Aceh yang mau menyalin bahasa Aceh. ”Menyalin bahasa Aceh
lebih sukar dari bahasa Inggris!”, begitu alasan mereka. Namun, setelah lama
dicari ketemu juga tempat pengetikan komputer tersebut. Tapi banyak pula yang
dilakukan Pak Adi sendiri.
Naskah yang akan dicetak adalah Tambeh Tujoh Blah, yakni tujuh belas
peringatan/nasehat yang terkait agama Islam. Kitab tambeh ini terbagi tiga
jilid.
Jilid I dicetak pada ujung tahun 2006, yang ongkos cetaknya saya bayar dengan
honor mengajar di jurusan ekstensi semester itu. Honor mengajar semester
depannya dibayar bertahap/tidak serentak, maka tertundalah niat mencetak jilid
kedua. Begitulah, jilid II dan III Tambeh Tujoh Blah berhasil dicetak pada
akhir semester tahun ajaran 2008
dengan honor mengajar dua semester di tahun itu.
Timbul pula persoalan saat dilakukan penitipan ke toko-toko buku.Pemilik KUD
Selamat Sejahtera, saat itu dipimpin Ibu Jasmani,isteri Pak Adi(Pak Adi alias
Tgk.H.Siswadi Asnawi sudah meninggal pada 22 Nopember 2006). Ibu Jasmani
memberitahukan saya, bahwa ada toko buku yang menolak titipan hikayat.Setelah
saya cek, jelaslah alasan mereka menolak karena amat minim lakunya. Sebenarnya,
selama ini pada toko buku itulah yang paling banyak saya titipkan hikayat. Apa
hendak dikata,kondisi sudah berubah dan pemilik toko buku pun sudah berganti
generasi pemiliknya. Pada awal September 2008, ketika saya datangi toko buku
lainnya; pemiliknya yang baru berganti juga memberitahukan agar saya tidak
menitipkan hikayat banyak-banyak.” Maksimal 20 buah buku setiap judul”,katanya.
Menanggapi keluhan-keluham itu, saya pun mengambil sikap, yaitu memutuskan
berhenti sebagai Toke Hikayat yang sudah saya jalani selama sebelas tahun.
Akhirnya, semua hikayat saya tarik dari toko-toko buku, dan saya kumpulkan di
Percetakan UD. Selamat Sejahtera. Sesudah saya bagi-bagikan dalam tujuh kotak
kardus, maka saya hadiahkanlah kepada enam lembaga yang memiliki perpustakaan
di Banda Aceh,yakni 1)Pustaka Sekolah Menulis Dokarim, 2)
Pustaka Ali Hasjmy, 3) Pustaka Aceh Culture Institute, 4) Pustaka Balai Bahasa,
5) Pustaka Wilayah, dan 6) Pustaka Induk Unsyiah, yaitu tiga milik negeri dan
tiga lembaga milik swasta. Sementara satu kotak kardus saya ambil sendiri
sebagai dokomentasi dan “bungong jaroe” Toke Hikayat bagi sahabat dan kenalan
baru saya.
T.A. Sakti
#Peminat budaya dan sastra Aceh
{Catatan kemudian:
Naskah transliterasi no. 26 dan 27, yakni ADAT ACEH dan TAZKIRAH THABAQAT perlu
saya beri sedikit penjelasan. Bahwa kedua naskah ini merupakan naskah
andalan,unggulan, harapan dan kebanggaan saya. Hal ini karena di dalamnya
banyak mengandung unsur sejarah Aceh, terutama bidang sejarah ketatanegaraan
termasuk undang-undang. Bidang ini amat saya gemari, sehingga di kuliah pun
saya memilih jurusan HUKUM TATANEGARA dan ILMU SEJARAH.
Oleh hal demikian,
saya amat mengharapkan kedua naskah alih aksara ini dapat segera tercetak
menjadi buku. Berbagai cara telah saya tempuh demi tercapainya tujuan
itu. Sejumlah tokoh dan lembaga telah saya dekati, baik lewat surat, proposal
atau langsung bertemu muka. Surat/proposal – buat semua hasil alih aksara –
berjumlah 82 sedangkan menjumpai “tokoh” tentu lebih seratusan. Namun,
upaya saya masih sia-sia, sementara naskah Adat Aceh dan Tazkirah Thabaqat
belum tercetak juwa!. Alhamdulillah, saya belum menyerah. Timbul ide di benak
saya untuk memberikan fotokopi kedua naskah itu kepada pribadi-prabadi yang
saya percaya amat mencintai peradaban Melayu Aceh. Saya berharap, agar lewat
beliau-beliau yang berpengaruh itu, dua buku muatan lokal itu cepat terwujud.
SUMBER: TA SAKTI